Cuaca hari ini sepertinya tidak bersahabat denganku. Buktinya
saja udara kali ini terasa sangat panas,sang surya begitu egois tak mau
meredupkan sedikit sinarnyaa untukku.
“Panas
banget sih siang ini? Huft boring ndak ada kegiatan,” keluhku sambil berada
didepan sebuah kipas angin.
Dan kini dingin pun
mulai terasa walau tidak permanen. Ketika aku duduk didepan sebuah kipas angin
yang tempatnya tidak jauh dari jendela kamarku. Tampak Fendi sedang berjalan
sedirian masih menggunakan seragam sekolahnya. Dibalik jendela aku diam-diam
memperhatikannya, karena dia sangat lucu. Seperti biasanya bibir kecilnya selalu
tidak berhenti bersenandung. Rambut hitam dan hidungnya yang begitu mungil
membuat orang bisa tertarik padanya. Fendi adalah salah satu tetanggaku.
Rumahnya tidak jauh dari rumahku, hanya berjarak dua rumah kurang lebih tiga meter.
Siang itu sebenarnya Fendi harus cepat pulang dan harus
mengikutil les privat dirumahnya .Tetapi, rencana itu harus diundur karena
bundanya yang bekerja sebagai bidan desa harus membantu persalinan Bu Ratna.
Mau tak mau dia harus menggantarkan ibunya kerumah Bu Ratna. Rumah Bu Ratna
yang begitu jauh membuat Fendi sebetulnya malas. Tapi, demi bakti dan patuhnya
pada orang tua dia mengantarkan ibunya.
Setelah hampir satu jam mengantar dan menunggu ibunya yang
membantu persalinan Bu Ratna. Fendi pun mengantar ibunya kembali ke Puskesmas,
karena masih banyak pasien yang butuh pengobatan dari ibunya. Sedangkan Fendi
melanjutkan perjalanannya untuk pulang ke rumah.Ditengah perjalanan pulang
Fendi terhenti ketika mendapati seorang anak kecil, terduduk lesu dipojokan
sebuah toko kecil didekat rumahku. Matanya sembab karena habis menangis.
Fendi sebenarnya takut menghampiri. Selain karena dia harus
bergegas pulang, anak kecil yang habis menangis itu adalah Radityo. Tidak lain
adalah adikku. Aku selama ini dikenal dengan sebutan cewek manis yang jutek.
Sebetulnya aku tidak jutek, hanya saja aku tidak begitu banyak ngomong sama
orang yang tidak begitu dekat denganku. Akhirnya dengan rasa yang bercampur
antara takut dan tidak teganya Fendi
menghampiri adikku.
“Radityo kenapa? Kok, nangis?” tegur Fendi kemudian
“Kak Fendi?” ujar Radityo.
Dengan nada memastikan Fendi menganggukkan kepala
berkali-kali.
“Ada apa Radit?” Tanya Fendi lagi
“ Engg….anu kak, tadi Radit disuruh kakak beli tiga sabun
cuci. Tapi begitu mau bayar, uang Radit ternyata enggak ada. Uang Radit hilang,
kak.” Tangis Radit pecah. Fendi mengelus-elus pundak dan mengendongnya agar
tangisnya mereda.
“ Radit sudah mencarinya?”
“Sudah kak, Radit sudah bolak-bolik, tapi uangnya enggak
ketemu juga.
Setelah berpikir berhitung, Fendi berkata
“Kebetulan kakak punya uang lebih, sepuluh ribu rupiah.
Pakailah jangan menangis lagi ya.” Bujuk Fendi
Tidak lama kemudian akupun datang untuk menjemput adikku,
karena terlalu lama membelinya. Ketika melihat adikku menangis. Aku spontan
kaget, kebetulan disitu masih ada Fendi. Tanpa pikir panjang aku marah dan
menudu Fendi yang telah membikin adikku menangis. Dia hanya diam.
***
Dirumah Fendi sudah nampak guru les privatnya. Walaupun Fendi
merasa sangat capek. Dia langsung bergegas mandi dan mempersiapkan diri untuk
mengikuti les. Semua buku pelajaran yang ia rasa penting dikeluarkan
semua.Tidak ketinggalan juga semua tugasnya dia siap untuk mengerjakan. Banyak kendala-kendala
yang dialaminya saat mengerjakan tugas . Tapi semua itu teratasi ketika dia
bertanya sekaligus berdiskusi bersama gurunya.
“ YES!” seru Fendi begitu melihat semua tugasnya terselesaian
dengan rapi.
Setelah les dan semua tugasnya selesai. Fendi pun merasa
lapar, Dia bergegas ke toko yang tidak jauh dari rumahnya untuk membeli makanan
ringan. Kebetulan aku dan adikku sedang berada di toko itu. Ketika melihat ku
Fendi pun berlari. Aku pun mengejarnya,
“Aku minta maaf” itulah kata-kata yang pertama kali keluar
dari mulutku. Adikku sudah menceritakan semuanya padaku. Ternyata aku sudah
salah paham padamu.
“ Iiiiyyaa, tidak apa-apa” Fendi menjawab dengan nada yang
agak ketakutan.
***
Waktu terus berlalu, Aku menjalani hari-hariku hampir semua seperti
biasanya. Cuma ada satu hal yang tidak seperti biasanya. Aku dulu yang jarang
banget bertemu atau berkomunikasi dengan Fendi walaupun kita bertetangga. Tapi,
lain halnya dengan sekarang aku hampir tiap waktu selalu berkomunikasi dengan
Fendi baik secara langsung maupun lewat media komunikasi.Kebiasaan itu hampir
bertahun-tahun berlangsung.
Awalnya aku menganggap dia hanya seorang teman biasa. Karena
kejutekanku itulah, sampai-sampai aku tidak sadar kalau Fendi diam-diam menaruh
perasaan sayang dan cintanya padaku. Aku tahu itu semua dari salah seorang
teman dekat Fendi yang bernama Teguh. Teguh bercerita banyak tentang Fendi
padaku,terutama soal perasaannya padaku. Aku hanya bisa tersenyum lega
mendengar itu semua. Karena apa? Kalian ndak tahu kan, sebenarnya di dalam
hatiku yang paling dalam juga menyimpan perasaan yang sama dengan Fendi. Aku
ndak akan bilang kesiapapun karena aku malu dan gengsi. Masak, seorang cewek
menggembor-gemborkan isi hatinya. Tetap pada aku yang selalu jutek.
Aku rasa Fendi tidak cukup banyak nyali untuk mengunggkapkan
perasaannya padaku. Dia tahu kalau aku tidak boleh untuk berpacaran dulu. Tapi,
dia pernah bertanya padaku.
“Fennis, kamu itu ingin jodoh yang bagaimana sih?”
Aku hanya menjawab singkat, “ aku ingin jodoh yang selalu
menyayangiku sampai akhir hayat”
“kalau aku jodoh kamu bagaimana fennis?”
“Ehmm….Iya gak papa,
tapi kamu ndak sayang sama aku gitu.” Jawabku
Aku berpura-pura tidak tahu kalau sebenarnya dia sayang sama
aku.
“Aku sebenarnya sangat dan amat sayang padamu, rasa sayangku
ini akan kubuktikan ketika aku sudah menjadi orang yang sukses dan mapan. Aku
akan melamarmu.”
Aku mulai merenungkan semua perkataan Fendi padaku, aku pikir
dia cukup sabar menghadapi semua sikap jutekku. Aku bangga dengan ketulusan dan
keseriusan Fendi padaku. Tapi, aku belum begitu percaya sepenuhnya dngan semua
perkataanya. Aku membiarkan hubungan ini berjalan seperti air yang mengalir.
Hingga pada suatu saat Fendi pergi tanpa pamit, tidak ada
kabar lagi dari dia. Hanya aku pernah mendengar ibunya sedang bercerita dengan
ibuku kalau Fendi sekarang bekerja menjadi manager disalah satu perusahaan di
Jakarta. Dia pulang hanya satu tahun sekali yaitu pada saat lebaran Idul Fitri.
Aku selalu menanti-nantikan moment itu.
***
Lebaran pun telah tiba.Tapi, apa yang terjadi? Ibunya bilang
kepadaku kalau dia tidak bisa pulang karena masih banyak pekerjaan. Mendengar
itu semua hatiku terasa tersayat-sayat. Aku sebenarnya ingin marah, tapi tidak
tahu siapa yang akan kumarahi. Akhirnya aku mencoba untuk menerima kenyataan
itu dengan sabar. Meskipun begitu aku tidak bisa membohongi kesedihanku. Kedua
mataku sembab karena semalaman kebanyakan mengeluarkan air mata.
Keesokan harinya, kalian tau apa yang terjadi?. Aku dikejutkan
dengan kedatangan Fendi dan keluarganya ke rumahku yang akan menepati janjinya
untuk melamarku. Perasaan bercampur aduk rasa senang, terharu, sedih itu yang
aku rasakan saat itu. Air mata kebahagiaanku juga tidak bisa kubendung lagi.
Akhirnya, Fendi menenangkan dan menceritakan padaku kalau sebenarnya dia sudah
pulang tiga hari sebelum lebaran. Tapi dia ingin memberi surprise
padaku,makanya dia memiliki ide itu semua.
Saat itulah aku menobatkan hari Lebaran merupakan hari yang
sangat membahagiakan bagiku. Memang sebuah ketulusan dan kesabaran pasti akan
membawa kita pada kebahagiaan.
0 komentar:
Posting Komentar